Selasa, 31 Mei 2016

Serba Salah

Orang yang terlalu jujur, juga ga baik.
Bikin penyakit hati.
Tapi, masa mau bohong terus?
Memang sih bagi kebanyakan orang lebih baik berbohong agar tak melihat raut wajah sedih orang-orang sekitarnya saat berkata jujur.
Tapi, kalau bohong terus, sama aja bikin jalan pintas masuk ke neraka jahanam.
Tapi rasanya, bagi saya berbohong adalah hal pertama yang harus saya lakukan di depan mereka.
Saya tipikal orang yang ga enak hati bila berkata sebenarnya.
Sangat susah merubah sifat saya yang seperti ini.
Dengan enaknya yang lain bisa berbuat egois, sesuka hati. Sedangakan saya?
Saya bisa apa?
Rasanya aneh aja, kalau saya harus bertingkah demikian.
Karena ya tadi, saya tipikal orang yang ga enak hati.
Jadi, ya apapun itu, hal yang saya ingin lakukan, saya pasti berfikir 3 kali.
Baru saya bisa melakukannya.

LPJ

Saya benci yang namanya “menyusun laporan pertanggungjawaban”.
Namun, ini memang kegiatan yang sangat asik.
Kegiatan di mana kita bisa mengulang memori satu tahun kebelakang.
Satu persatu, masih sangat jelas gambaran itu di memori saya.
Kegiatan yang sangat melelahkan, namun dengan kegiatan ini, saya bisa mengingat kalian sepenuhnya.
Dari mulai hal konyol yang sangat menjengkelkan sampai menyenangkan.
Semuanya masih saya ingat.
Sampai bernyanyi bersama saat stres melakukan rutinitas kegiatan kita.
Semuanya, semuanya masih ada di otak ini.
Masa-masa di mana kita tak terlalu mementingkan yang namanya “pemimpin” dan “peraturan”.
Kita masih sangat bebas, belum terbentur dengan peraturan sana-sini.

Akankah semuanya kembali seperti dulu?
Tanpa pemimpin dan peraturan, namun semuanya bersatu seperti keluarga?
Atau berjalan dengan mempunyai pemimpin dan banyak peraturan, namun rasa kekeluargaan itu hilang?
Jujur, saya akan pilih yang pertama.
Saya akan pilih di mana kita hidup bebas, namun semuanya merasa dalam pelukan.

Andai bisa sedetik saja, saya merasakan hal yang dulu itu lagi, saya tak akan pernah mau untuk mempercepat waktu sedikit pun.
Namun, semuanya hanya “berandai-andai”.
Waktu tetaplah waktu, yang terus berputar ke depan dengan sangat cepat.
Saya hanya bisa berucap rindu dengan kita yang dulu pada malam ini... :*


Selasa, 10 Mei 2016

Secangkir Kopi

        Malam itu, semerbak wangi kopi yang khas dari sang peracik kopi handal di kota ini. Rizal, nama si pembuat kopi yang sudah setahun ini selalu kutunggu-tunggu kehadirannya saat aku berkunjung ke kafe “Amabelle”. Entah apa yang membuatku tergila-gila menunggunya memberikan secarik kertas daftar menu. Padahal tampangnya sangat biasa. Bila dibandingkan, lebih tampan artis idolaku, Reza Rahardian dibanding dengannya. Apa ini yang namanya “cinta itu buta”? Tak memandang sosoknya seperti apa pun itu. Bahkan, sifatnya pun belum kukenali lebih dalam. Apa mungkin cinta datang dari secangkir kopi yang dibuatnya ketika aku berkunjung ke kafe? Rasanya sangat lucu. Sudah sering aku berkunjung, namun belum juga bertegur sapa ataupun menjadi pelanggan tetap yang dihafal olehnya. Tapi beda dengan malam ini. Semuanya berjalan lancar. Dia pun mulai mengenaliku.
“Hmm.. Gea, bukan?”, dengan nada yang amat pelan dia memanggilku dengan muka yang takut salah menyebut nama. Hal yang pertama ku lontarkan bukannya sapaan memanggil balik, tetapi aku malah tertawa dengan tingkah-tingkah yang tidak jelas sampai menjatuhkan barang yag ada di meja. Oh damn! Tingkah apa ini yang kamu buat, Gea? Bodoh banget sih menghasilkan tingkah aneh seperti ini!! Ucap dalam benakku sambil menelan ludah yang sudah kubuat.
“Oh iya, aku Gea. Akhirnya, kamu hafal namaku juga”, tawa kecilku mengikuti pembicaraanku ini.
“Maaf, kalau selama itu saya tak mengenalimu. Pesan kopi seperti biasa?”
“Memangnya kamu hafal kopi kesukaanku apa?”
“Hmm... kamu meragukan saya ya?”
“Haha, maaf bukan itu maksudku. Sungguh, tak ada niat untuk meragukanmu.”, muka penuh penyesalan pun datang dan tangan mulai menepuk jidat karena tindak ceroboh yang kubuat.
“Aduh maaf.. Sungguh, saya tadi hanya bercanda. Jangan merasa bersalah ya. Baiklah, tunggu sebentar ya. Dalam 15 menit, pesananmu akan datang. Saya yang akan mengantarkanya untuk kamu.”

15 meint berlalu. Benar saja, dia tepat waktu mengantarkan racikan coffee and cream pesananku. Seperti mimpi, lelaki yang kuidamkan bisa berbicara denganku malam ini. Walau hanya sekitar 5 menit, sudah cukup ku bahagia.

Kafe dengan 24 jam bukanya, membuatku tak kunjung pergi meninggalkan kafe. Bahkan, sampai saatnya dia berganti shift dengan temannya, aku masih duduk di kafe ini.

“Gue duluan ya”, ucapnya saat hendak meninggalkan kefe tepat jam 2 pagi.
“Lho, Gea masih di sini?”, tanyanya pada diriku saat ingin membuka pintu kafe.
“Iya, masih di sini. Biasalah karyawan swasta, kerjaan banyak banget”, pura-puraku membuka lembar kerjaku dari laptop yang ku mainkan dari tadi.
“Tapi ini udah jam 2 pagi. Lebih baik kamu pulang. Ga baik, perempuan pulang malam”
“Ini sudah pagi kok..”, ledekku sambil menatap jam yang berada di dinding kafe.
“Iya deh iya”, senyumnya yang membuatku ingin terbang seketika.
“Iya, ini aku mau pulang kok”
“Rumah kamu daerah mana?”
“Cibiru. Kenapa?”
“Untunglah kita satu jalan. Bareng aja gimana?”.
Aduh aku bawa mobil lagi. Gimana ya? Aku tinggal aja deh moblnya. Aku pun meninggalakan mobilku di kafe dan akan ku ambil besok pagi sekalian berangkat ke kampus agar malam ini bisa mengetahui rasanya dibonceng dengan pria yang diidam-idamkan sudah dari lama.

Sampailah aku di kost-anku. Sampai pagi, aku terus membayangkan saat di motor bersamanya. Ingin rasanya ku ulang kembali.

Malamnya pun, aku kembali ke kafe untuk bertemu dengannya. Namun, tak ku lihat sosoknya. Keesokannya kembali lagi ke kafe.  Tapi tak juga ku lihat sosoknya. Satu minggu tak ku lihat sosoknya. Ke mana dia? Apa dia sakit? Atau kenapa? Ku beranikan bertanya kepada temannya. Dan temannya menjawab, “Mba gatau memangnya?”
“Kenapa memangnya?”
“Rizal sudah pergi dari 3 bulan yang lalu. Dia mengalami kecelakaan yang hebat sampai mengakibatkan dia tewas di tempat. Sehabis mengantar calon istrinya pulang jam 2 pagi, dia kecelakaan.”

Dan semua ingatanku kembali. Rizal, sang peracik kopi favoritku ternyata adalah calon suamiku. Dan sesungguhnya, diriku ini baru ke luar dari panti penanggulangan orang-orang yang sakit jiwa. Ya memang, semua ini membuatku sampai harus menginap di panti ini selama 3 bulan. Kehilangannya sungguh membuatku kehilangan akal sehat. Berkali-kali aku mencoba untuk bunuh diri dan ikut menyusul dengannya, ada saja halangan yang membiarkanku tetap hidup di dunia ini sendirian tanpanya.

Mungkin tak selamanya kita bersama. Tapi percaya lah...
Kamu akan menjadi yang selamanya di hidupku.
Bahkan, sampai aku dan kamu sudah sama-sama tak memiliki nafas lagi.
Dan meskipun bukan aku yang menjadi pasanganmu di dunia nanti, berdoalah semoga kita menjadi pasangan di surga nanti...
           

Setidaknya, itu kata-kata yang dia ucapkan sebelum semuanya akhinya menjadi seperti ini. Dan aku akan menunggu waktu itu. Waktu di mana kita akan bertemu lagi.

Senin, 02 Mei 2016

Rindu? Sedikit...

Rindu memang indah, bila orang yang kita rindukan juga merindukan kita.
Namun, bila tidak, itu hanya bagian dari penyiksaan jiwa.
Rasanya masih sangat pantas sosoknya dirindukan.
Tepatnya 2 hari yang lalu, pertemuan dan percakapan yang setelah 1 tahun lebih tak kita lakukan secara langsung.
Rindu sekali rasanya bisa melakukan hal yang dulu menjadi rutinitas kita tiap minggunya.
Andai dalam hidup tak pernah berganti waktu sedikitpun, tak akan mau meninggalkan masa-masa dimana kita sangat dekat.
Namun, diri harus tetap sadar. Bila tak semuanya yang diandai-andai menjadi kenyataan.
Setiap bertemu memang pasti ada ucapan "selamat tinggal".
Maka dari itu, semoga ini kali terakhirnya menulis tentang andai-andaiku.
Selamat tinggal "aeras"...