Secangkir Kopi
Malam
itu, semerbak wangi kopi yang khas dari sang peracik kopi handal di kota ini. Rizal,
nama si pembuat kopi yang sudah setahun ini selalu kutunggu-tunggu kehadirannya
saat aku berkunjung ke kafe “Amabelle”. Entah apa yang membuatku tergila-gila
menunggunya memberikan secarik kertas daftar menu. Padahal tampangnya sangat
biasa. Bila dibandingkan, lebih tampan artis idolaku, Reza Rahardian dibanding
dengannya. Apa ini yang namanya “cinta itu buta”? Tak memandang sosoknya
seperti apa pun itu. Bahkan, sifatnya pun belum kukenali lebih dalam. Apa mungkin
cinta datang dari secangkir kopi yang dibuatnya ketika aku berkunjung ke kafe? Rasanya
sangat lucu. Sudah sering aku berkunjung, namun belum juga bertegur sapa
ataupun menjadi pelanggan tetap yang dihafal olehnya. Tapi beda dengan malam
ini. Semuanya berjalan lancar. Dia pun mulai mengenaliku.
“Hmm.. Gea, bukan?”,
dengan nada yang amat pelan dia memanggilku dengan muka yang takut salah
menyebut nama. Hal yang pertama ku lontarkan bukannya sapaan memanggil balik,
tetapi aku malah tertawa dengan tingkah-tingkah yang tidak jelas sampai
menjatuhkan barang yag ada di meja. Oh damn!
Tingkah apa ini yang kamu buat, Gea? Bodoh banget sih menghasilkan tingkah aneh
seperti ini!! Ucap dalam benakku sambil menelan ludah yang sudah kubuat.
“Oh
iya, aku Gea. Akhirnya, kamu hafal namaku juga”, tawa kecilku mengikuti
pembicaraanku ini.
“Maaf,
kalau selama itu saya tak mengenalimu. Pesan kopi seperti biasa?”
“Memangnya
kamu hafal kopi kesukaanku apa?”
“Hmm...
kamu meragukan saya ya?”
“Haha,
maaf bukan itu maksudku. Sungguh, tak ada niat untuk meragukanmu.”, muka penuh
penyesalan pun datang dan tangan mulai menepuk jidat karena tindak ceroboh yang
kubuat.
“Aduh
maaf.. Sungguh, saya tadi hanya bercanda. Jangan merasa bersalah ya. Baiklah,
tunggu sebentar ya. Dalam 15 menit, pesananmu akan datang. Saya yang akan
mengantarkanya untuk kamu.”
15
meint berlalu. Benar saja, dia tepat waktu mengantarkan racikan coffee and cream pesananku. Seperti mimpi,
lelaki yang kuidamkan bisa berbicara denganku malam ini. Walau hanya sekitar 5
menit, sudah cukup ku bahagia.
Kafe
dengan 24 jam bukanya, membuatku tak kunjung pergi meninggalkan kafe. Bahkan, sampai
saatnya dia berganti shift dengan temannya, aku masih duduk di kafe ini.
“Gue
duluan ya”, ucapnya saat hendak meninggalkan kefe tepat jam 2 pagi.
“Lho,
Gea masih di sini?”, tanyanya pada diriku saat ingin membuka pintu kafe.
“Iya,
masih di sini. Biasalah karyawan swasta, kerjaan banyak banget”, pura-puraku
membuka lembar kerjaku dari laptop yang ku mainkan dari tadi.
“Tapi
ini udah jam 2 pagi. Lebih baik kamu pulang. Ga baik, perempuan pulang malam”
“Ini
sudah pagi kok..”, ledekku sambil menatap jam yang berada di dinding kafe.
“Iya
deh iya”, senyumnya yang membuatku ingin terbang seketika.
“Iya,
ini aku mau pulang kok”
“Rumah
kamu daerah mana?”
“Cibiru.
Kenapa?”
“Untunglah
kita satu jalan. Bareng aja gimana?”.
Aduh aku bawa mobil
lagi. Gimana ya? Aku tinggal aja deh moblnya. Aku
pun meninggalakan mobilku di kafe dan akan ku ambil besok pagi sekalian
berangkat ke kampus agar malam ini bisa mengetahui rasanya dibonceng dengan
pria yang diidam-idamkan sudah dari lama.
Sampailah
aku di kost-anku. Sampai pagi, aku terus membayangkan saat di motor bersamanya.
Ingin rasanya ku ulang kembali.
Malamnya
pun, aku kembali ke kafe untuk bertemu dengannya. Namun, tak ku lihat sosoknya.
Keesokannya kembali lagi ke kafe. Tapi tak
juga ku lihat sosoknya. Satu minggu tak ku lihat sosoknya. Ke mana dia? Apa dia
sakit? Atau kenapa? Ku beranikan bertanya kepada temannya. Dan temannya
menjawab, “Mba gatau memangnya?”
“Kenapa
memangnya?”
“Rizal
sudah pergi dari 3 bulan yang lalu. Dia mengalami kecelakaan yang hebat sampai mengakibatkan
dia tewas di tempat. Sehabis mengantar calon istrinya pulang jam 2 pagi, dia kecelakaan.”
Dan
semua ingatanku kembali. Rizal, sang peracik kopi favoritku ternyata adalah
calon suamiku. Dan sesungguhnya, diriku ini baru ke luar dari panti
penanggulangan orang-orang yang sakit jiwa. Ya memang, semua ini membuatku
sampai harus menginap di panti ini selama 3 bulan. Kehilangannya sungguh
membuatku kehilangan akal sehat. Berkali-kali aku mencoba untuk bunuh diri dan
ikut menyusul dengannya, ada saja halangan yang membiarkanku tetap hidup di
dunia ini sendirian tanpanya.
Mungkin tak selamanya kita bersama. Tapi percaya
lah...
Kamu akan menjadi yang selamanya di hidupku.
Bahkan, sampai
aku dan kamu sudah sama-sama tak memiliki nafas lagi.
Dan meskipun
bukan aku yang menjadi pasanganmu di dunia nanti, berdoalah semoga kita menjadi
pasangan di surga nanti...
Setidaknya,
itu kata-kata yang dia ucapkan sebelum semuanya akhinya menjadi seperti ini. Dan
aku akan menunggu waktu itu. Waktu di mana kita akan bertemu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar