Kamis, 31 Desember 2015

Terimalah

Semua telah berlau dan tahun pun telah berganti, tapi kenapa seolah perempuan dalam hidup ini hanya aku? Ingat apa alasan kamu mengakhiri semua ini? Apa perlu ku tulis di atas dahimu agar kamu mengingatnya? Mungkin bila menjadi teman, akan ku terima. Nyatanya, kamu menginginkan perasaanku yang dulu kembali lagi. Kamu sudah menjadi laluku. Lalu yang hanya bisa ku kenang tapi tak kan ku harapkan kembali.
Tuhan sudah memegang takdir kita. Mungkin Tuhan marah karena saat kita bersama, selalu ada api dalam hubungan kita, sehingga Tuhan membuat takdir seperti ini.  Terimalah, takdirmu bukan aku, duniamu bukan aku, dan akhirmu bukan aku. Carilah dunia akhirmu yang lain. Mungkin ada di orang-orang terdekatmu.

Tanggal Main

Ada yang bilang, "Untuk bahagia itu ga harus punya pacar". Gue Vindi, berusia 17 tahun baru aja menjomblo alias putus. Putus di hari tanggal lahir gue itu rasanya... hmm luar biasa sakit. Sakit bukan karena sedih atau masih mencintai mantan. Tapi, sakit karena bingung antara mau bahagia atau sedih. Udah lama banget sebenarnya ingin putus, tapi masih gue tahan sampai akhirnya udah ga ada yang bisa dilanjutin lagi. Ya kita putus bukan 100% salah mantan gue yang terlalu egois. 80% adalah salah gue yang belajar bermain api. Gue main api, karena sifat doi yang egois. Selalu gue yang harus mengikuti kemauannya. Sedangkan dia? Dia ga pernah mau dengerin apa yang gue mau. Ya jadi, terpaksa gue cari pelampiasan ke orang lain yang mau menjadi pendengar yang baik buat gue.

Radit, laki-laki yang gue ajak main api. Dia udah punya pacar, tapi ya sama kayak gue, dia bosan karena sifat kekanak-kanakan ceweknya. Padahal, ceweknya Radit adalah teman SMP gue. Keren kan? 😏

Dan sebelum gue putus, Radit udah terlebih dulu putus sama ceweknya, Intan. Ga tau kenapa, gue bukannya sedih tapi gue bahagia. Rada jahat sih sebenarnya. Ya tapi, gue ga bisa bohongin perasaan sendiri.

Dua minggi setelah itu, gue yang putus cinta. Dan sekarang, gue sama Radit lagi coba jalanin petemanan dulu. Gue ataupun Radit, sama-sama belum mau punya komitmen apa pun itu. Kita masih asik dengan keadaan seperti ini. Gue cuma bisa nunggu. Kalau dia bertanya pertanyaan apa yang gue mau, ya saat itu juga gue menjawab jawaban apa yang gue dan Radit mau juga. Jadi, tinggal tunggu tanggal mainnya aja....

Senin, 28 Desember 2015

Sementara Begini Dulu

Pasca perpisahan kemarin, memang masih ada kamu. Tapi maaf karena kamu hanya menjadi teman biasa.
Bukan karena tak memiliki rasa, percaya lah.. rasa ini jauh lebih besar dibanding rasa yang dulu.
Tapi karena memang belum mau mempunyai komitmen apa pun dulu dengan siapa pun itu.
Bukan takut atau trauma karena kemarin, karena takut rasanya cuma manis di awal dan setelah di tengah rasanya justru biasa aja.
Dan lagi pula, kita baru sama-sama mengakhiri dunia kita kemarin, masa iya kita mau langsung memulai dengan dunia yang baru?
Aku masih terlalu menikmati dunia yang seperti ini.
Kalau sudah waktunya dan aku pun sudah sangat siap, akan ku akhiri semuanya ini dengan kata "iya, aku mau"...

Minggu, 27 Desember 2015

Tentang Kita : Aku Pergi

Ya... Ini mungkin sudah waktunya aku meninggalkan Jakarta dengan kenangannya yang begitu banyak. Besok pagi jam 10 aku akan pergi meninggalkan kota kelahiranku ini. Aku keterima di salah satu universitas di Jogjakarta dengan jurusan sastra bahasa. Ini adalah yang aku inginkan. Namun, rasanya sangat berat meninggalkan semuanya, orang tua dan teman-temanku. Tapi untungnya, ada Tara yang berkuliah di Jogja juga. Dan kebetulan, kita 1 kost-an, tapi beda kampus.
Aku berharap besok akan ada orang special yang mengantar kepergianku ini, ya itu Rizal. Tapi rasanya tak mungkin dia ikut mengantarku ke bandara. Sejak malam itu, semuanya berubah. Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut kita. Untuk berkata “hai” saja rasanya tak mampu. Entah gengsi atau apa yang membuat kita bungkam 1000 bahasa seperti ini.
“Kriiiiing....”, suara handphone-ku berbunyi, dan ternyata yang menelponku adalah Rizal. Ku tarik nafas panjang untuk mengangkat telpon darinya.
“Huh... Halo...”
“Kamu belum tidur, Vin? Besok berangkat pagi bukannya? Ini sudah jam 10 malam lho”, ya Rizal memang selalu menaruh perhatian seperti itu kepadaku. Siapa coba yang tak langsung menaruh hati kepanya?
“Hmm... bentar lagi tidur kok. Ini baru selesai beresin barang-barang buat besok”
“Yaudah tidur yang nyenyak ya...”
“Kamu besok ikut mengantarku kan?”, aku langsung bertanya demikian dengan harapan dia berkata iya.
“Liat besok ya, Vin. Aku sibuk soalnya ngurus buat masuk kuliah”
“Oh yaudah kalo ga bisa, ga apa-apa”
“Yaudah Vin. Kamu tidur ya... Good night and have a nice dream”, dan itu adalah kata-kata yang paling membuatku pertama kali langsung terpana dengannya. Andai kamu tau Zal, aku berharap kita bisa lebih dari sekedar teman dekat dan kamu bisa menjadi duniaku Zal.

Pagi-pagi sekali aku terbangun dan melihat handphone, ternyata ada sms dari Rizal yang mengatakan dirinya tak bisa ikut mengantarku. Ya, berarti nanti dan sampai waktu yang menemukan nanti, kita tak akan bertemu lagi. 

Tentang Kita : Vindi

Vindi, adalah sosok wanita yang selalu menemani hari-hariku. Suka duka selalu kita lewati bersama. Tapi semenjak malam itu, malam di mana aku mengelurkan perasaanku padanya, seolah tak ada kata yang keluar dari mulutnya lagi. Kami bungkam 1000 bahasa. Tak menegur satu sama lain. Apa salahku yang mengatakan demikian? Rasa penyesalan setelah malam itu  selalu memeluk hangat tubuhku di tiap detik aku bernafas. Aku tak mau hubungan kami yang tadinya sangat baik menjadi menjauh hanya karena 1 malam 30 menit itu.
Vindi sedang asik terduduk membaca novel pemberianku di taman sekolah kami. Novel tentang betapa pentingnya cinta yang harus diungkapkan sebelum terlambat. Seperti berkaca dari novel itu, aku sudah mengeluarkan perasaanku, tapi mengapa harus belum bisa memulai denganya dan justru harus membuatnya menunggu? Aku mulai ragu dan takut kalau Vindi nantinya menemukan yang lain dan aku tak sempat memilikinya.

Vindi akan pindah ke Jogja. Dia mengambil kuliah sastra bahasa di sana. Kuliah dengan jurusan satra bahasa adalah impiannya. Aku senang Vindi bisa meraih impiannya, dan berharap bisa menjadi penulis novel terkenal sesuai keinginannya. Tapi, dengan begitu akan ada waktu yang sangat lama untuk bisa berjumpa lagi dengannya. Apa aku akan tetap seperti ini kepadanya? Vindi, andai kamu bahwa aku sangat mencintai kamu dan menginginkan kamu sebagai duniaku, Vin.

Jumat, 25 Desember 2015

Dengan Terpaksa

Pagi ini, aku terbangun dari tidur yang lumayan panjang.
Entah apa yang dipikirkan Tuhan untuk membawa kamu yang tiba-tiba datang dalam bunga tidur semalam, dengan waktu yang lumayan panjang.
Keadaan yang sama sekali tak pernah ku minta lagi semenjak perpisahan itu terjadi.
Bayangmu begitu sangat nyata. Sampai aku bertanya, semalam itu "bunga tidur" atau "kenyataan"? karena semalam hampir tipis antara kenyataan dan tidak.
Sangat jelas tanganmu itu mengenggam tangan ini lagi.
Konyol memang. Di saat aku benar-benar tak menginginkanmu kembali, kamu justru hadir lagi dengan durasi yang cukup membuatku teringat awal dari semua ini.
Dan dengan terpaksa, di pagi yang cerah ini, aku teringat masa hitam kita yang menandai perpisahan ini.

Kamis, 24 Desember 2015

Kamu hadir setelah rasanya aku sudah tak percaya laki-laki lagi.
Kamu mampu membuat kepercayaan yang hilang itu ada lagi.
Kamu juga mampu membuatku sektika lupa sama dia, walau masih ada rasa sedikit.
Tapi nyatanya, kamu tak jauh beda sama dia.
Kamu egois. Hanya mampu membuat manis di awal.
Hampir setahun hubungan kita gini-gini aja.
Perbaikan selalu kta lakukan. Namun, tak berlangsung lama.
Aku mencoba menjadi apa yang kamu mau. Tapi, kamu? Apa kamu mencoba sama seperti yang aku lakukan?
Pernahkah kamu ingin mencoba bertanya, “apakah aku tahan dengan sikapmu itu?”
Sudah usai semuanya kini. Tak ada lagi kata “kita”.
Semoga kamu bahagia dengan duniamu sekarang... 

Rabu, 23 Desember 2015

1 Tahun Lalu

Singkat dan tidak jelas.
Mungkin itu yang menggambarkan hubungan kita selama 3 bulan kita cukup dekat.
Pertemuan kita sangat singkat dan berjalan sangat cepat. Jangankan pertemuan, perkenalan pun terhitung sangat singkat.
Tidak disangka, aku langsung terhipnotis oleh rupamu yang berkarismatik. Sifatmu yang dewasa pun, juga membuatku langsung terpana.
Masih teringat sangat jelas ucapan pertamamu yang malu-malu itu sangat mengajakku berkenalan.
Kamu sangat hebat, bisa membuatku langsung menaruh hati di detik pertemuan kita itu dan juga bisa membuatku benar-benar memilikimu.
Tapi, aku ini siapa yang harus marah ketika kamu dekat wanita lain?
Pintarnya kamu membiarkanku memiliki rasa tanpa status.
Dan terlebih lagi membuat hidupku seperti tak berarti tanpa kamu.
Dan kini, setelah 1 tahun semua itu berlangsung dan aku tau siapa saja yang kamu dekati, aku cuma minta 1 doa untukmu. Agar kamu tak merasakan sakit di kemudian nanti karena hal yang kamu perbuat sendiri.


Desember Terakhir

Desember ini benar-benar menjadi desember terakhir untuk kita.
Bukan karena bulan penghujung tahun, tapi ujung dalam hubungan kita.
Masih teringat jelas bagaimana caranya kita berpisah dan apa penyebab perpisahan kita.
Mungkin kamu bukan yang terbaik untukku, begitu juga aku. Dan mungkin juga, kamu bukan lah yang terakhir di hidupku.
Maaf, karena pelampiasanku terhadap sifat egoismu membuatku harus bermain api.
Karena pertama bukan juga harus jadi yang terakhir kan?

Minggu, 13 Desember 2015

Hujan

Hari ini, kamu datang kembali. Kembali menyapa tangisanku.
Sebagian orang mungkin kesal dengan kehadiranmu. Tapi tidak denganku yang sangat semangat melihat kehadiranmu.
Denganmu, aku bebas berekspresi. Denganmu, aku bisa menyembunyikan tetesan air ini.
Kamu bebas, bisa hadir sesuka hatimu. Ga peduli orang mau marah atau senang dengan adanya kamu.
Kapan aku bisa memainkan sesuka hatiku seperti kamu? Rasanya mustahil seorang aku bisa berlaku egois seperti kamu.
Janganlah usai kedatanganmu itu. Aku masih butuh kamu untukku mengeluarkan tetesan air ini.
Bukan karena malu orang melihatku seperti ini. Tapi, karena aku memang tak ingin terlihat.

Diam

Sudah sangat lama hati berkata ingin "mundur", tapi seolah hanya ucapan yang tak bisa dipraktekan sama sekali.
Sekarang, bukan hanya mulut ini yang berkata "mundur" dan juga bukan diri ini saja yang lelah.
Justru dengan banyaknya orang yang berkata "mundur" dan merasa lelah, hanya diri ini yang masih seperti ini. Serasa hanya diri ini yang ga bisa egois sama sekali.
Ga tau bisa mundur atau diam terus atau justru harus maju menggantikan yang lain.
Semakin banyak yang mengatakan "mundur", justru diri ini semakin kuat untuk tetap diam.
Diam dalam artian ga tau harus ikut pihak yang perlahan menghilang, atau pihak yang langsung menghilang tanpa permisi atau bahkan pihak yang tetap muncul.

Sabtu, 12 Desember 2015

Hujan Di Bulan Desember

Di keramaian ini, aku terduduk. Terdiam menatap keramaian sekitar.
Kanan dan kiri, bolak-balik memutar bola mata ini. Semua orang hilir mudik ke sana ke mari melihat gelapnya langit yang tiba-tiba datang.
Sementara aku? Masih terus terdiam, tak tau ingin maju atau mundur. Seolah kaki tak bisa bergerak karena menunggu sesuatu.
Ya, kamu yang aku tunggu, hujan.
Hujan di bulan akhir tahun. Tak pernah terlewat menunggu hujan di bulan ini.
Langit gelap pembawa hujan yang justru meneragi sisi gelapku.
Hujan di bulan manapun sebenarnya sama. Tapi terasa hujan di bulan ini sangat spesial dan ditunggu-tunggu olehku.
Di bawah hujan, aku bebas.
Bebas mengekspresikan diriku yang sedang kalbu tanpa ada yang tau bahwa sebenarnya ada tetesan air lagi selain air hujan yang jatuh.

Selasa, 01 Desember 2015

Desember

Bulan penghujung tahun pun tiba. Bulan di mana gue terlahir di dunia ini. Punya banyak teman, pelajaran, dan pengalaman. Mereka yang selalu ada buat gue. Jelas, mereka ingin yang terbaik buat gue. Mereka ingin agar gue selalu bahagia. Dan alhamdulillahnya, kemarin awal desember gue bisa ngebuktiin ke mereka kalau gue ga hanya sekedar ikut kegiatan yang pulang malam, nongkrong, ketawa-tawa, dan sebagainya. Gue bisa bawa 1 lembar kertas dan bawa nama baik sekolah di salah satu festival film yang gue ikuti di Bandung. So, mereka udah sangat bahagia banget lihat anaknya seperti ini. Akhirnya, gue bisa ngebuktiin ke mereka kalau kegiatan ini positif untuk gue. Tapi, gue mau ga sekedar sampai di sini usaha gue. Masih banyak yang belum mereka lihat dari gue. Sesungguhnya, ini bukan akhir tahun, tapi awal tahun di mana gue harus berjuang dapetin lembaran-lembaran kertas lagi. Tunggu pembuktian berikutnya ya ma... pa...