Namaku Tyara. Kini, usiaku 17 tahun. Usia dimana manusia baru mengenal cinta. Rafi, dia adalah teman sekelasku sekaligus laki-laki yang berhasil membuat aku jatuh hati hanya karena wajahnya yang tampan. Sebenarnya, aku menyukai Rafi sudah lama dari kelas 10. Awalnya, aku selalu bertengkar dengannya. Tetapi, saat razia rambut dan rambutnya jauh lebih rapih, aku mulai tertarik padanya. Bahkan, kami jauh lebih akrab. Dan sekarang, aku kelas 12. Wajah Rafi masih tetap sama seperti kelas 10. Tidak berubah sedikitpun, hanya suaranya yang jauh lebih berat. Bayangkan, 3 tahun kami sekelas, dan aku yang selalu memulai percakapan dengannya. Mulai jenuh sebenarnya dengan keadaan. Tetapi, aku bisa apa? Aku sangat menyukainya. Tidak ingin melepasnya untuk yang lain. Dan sebagai wanita, aku hanya bisa menunggu. Nathan adalah teman dekatnya Rafi. Dia sepertinya tau kalau aku menyukai Rafi. Dia selalu tersenyum meledek bila aku mendekati Rafi. Risih sebenarnya. Tetapi, aku berusaha untuk tidak mempedulikannya.
Perpisahan kelas pun tiba. Kami jalan-jalan ke Trans Studio Bandung. Di sana aku bermain bersama Lina, sahabatku, Rafi, dan Nathan. Ke mana-mana kami selalu berempat. Saat di Cihampelas, tempat membeli oleh-oleh khas Bandung, Nathan mengajakku berbicara. Dia membawaku ke tempat yang lumayan indah bagiku. "Ra, sebenarnya sudah lama aku suka sama kamu. Perhatian kamu ke aku buat aku suka sama kamu". Ucapan Nathan benar-benar membuatku sangat terkejut sebab perhatian yang aku berikan itu bukan untuknya, melainkan untuk Rafi. Ku fikir, Nathan mengetahui perasaanku ini untuk siapa. Tapi, ternyata tidak. Ternyata senyuman meledek itu adalah senyuman suka untukku. "Tapi Than, aku fikir kamu tau perhatian aku ini untuk siapa". "Aku ga tau Ra. Memangnya siapa?", tanyanya yang membuatku harus berkata jujur. "Perhatian ini buat Rafi. Dia yang aku tunggu, bukan kamu". "... aku harap, kamu ngerti ya Than. Dan kita tetap jadi teman", lanjutku. Mungkin jawabanku ini membuatnya sedih. Ya tetapi, memang ini jawaban yang harus aku keluarkan.
Akhirnya, perpisahan pun benar-benar terjadi tanpa Rafi tau yang sebenarnya perasaanku ini padanya. Dan aku tidak tau apakah Nathan masih memendam luka atau justru sebaliknya. Aku berharap meski aku telah menolaknya, aku dan Nathan masih bisa menjadi teman.
1 tahun kemudian, kelasku mengadakan reunian. Aku pun bertemu kembali dengan Nathan dan juga Rafi. Aku pun kembali mengingat peristiwa di mana Nathan menyatakan perasaanya padaku. Dan aku pun masih menunggu Rafi. Bodohnya memang, menyia-nyiakan orang yang menyukai kita demi orang yang kita tunggu tak juga datang.
Setelah reunian tepatnya 2 hari kemudian, aku dan Nathan tak sengaja bertemu di mini market. Aku memanggilnya, namun Nathan memalingkan wajahnya. Nathan masih terlihat kaku denganku. "Nathan, kamu masih ingat 1 tahun lalu?", aku tak tahan dengan sikapnya makanya aku menceploskan kata-kata itu. "Engga kok. Aku udah lupa malah", jawabnya seperti mengelak. "Bohong. Kamu kaku Than, kamu ga kayak dulu. Kita kayak orang yang baru kenal. Padahal dulu kita deket banget Than. Aku nyesel kenapa dulu aku harus nolak kamu kalau kita akhirnya kayak gini". Nathan pun berbalik badan, dan berkata "Kamu jangan nyesel Ra. Aku emang belum lupa. Bahkan aku belum bisa lupain kamu. Maafin aku ya", jawaban Nathan membuatku ingin memberikan kesempatannya untuknya. "Engga Than, aku emang nyesel nolak kamu dan tetap menunggu orang yang ga tau kapan datangnya. Kita coba aja dulu jalanin Than", ucapku dengan memegang tangannya seolah memang Nathan yang saat ini aku inginkan. "Kamu serius Ra?", aku menganggukkan kepala. Dan saat itu, aku dan Nathan mencoba semuanya. Kita mulai dari awal bukan hanya sekedar teman tetapi lebih dari teman. Meski hati belum bisa berkata "iya" sepenuhnya, tapi akan aku coba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar